Usahaweb.com

Nokia N8 terbaru

Diposting oleh 2brother | Selasa, Oktober 12, 2010 | 0 komentar »


Nokia sebagai salah satu produsen HP berkelas dunia memang tak mau ketinggalan dengan para pesaingnya. Ini terbukti Nokia telah meluncurkan Nokia N8, ponsel cerdar yang memiliki kamera 12 MP dan di gadang-gadang menjadi penantang iphone, Blackberry, serta Motorola Backflip. Seperti apa sih N8 ini simak yok!

Nokia N8 menggunakan layar sentuh, berkamrea 12 MP dengan flash, memiliki kualitas video yang sangat baik sekaligus juga software untuk video editing, berkapabilitas Dolby surround, memori internal 16 GB dan dapat dikembangkan hingga 48 Gb dengan menggunakan tambahan micro SD card, dan tentu saja fasilitas jelajah internet.

Handphone yang dikatakan sebagai generasi Symbian 3 ini diperkirakan dijual dengan harga sekitar 4,5 jutaan. Dipasaran terdapat tiga pilihan warna yaitu putih, hitam dan hijau.

Nokia N8 hadir sebagai handphone ulti fungsi yang menawarkan konektifitas ke jaringan internet maupun GPS. Ponsel ini juga diintegrasikan dengan apa yang disebut Qt, yaitu sebuah lingkungan pengembangsoftware yang dapat menyederhanakan pengembangan dan memungkinkan membangun aplikasi berbasis Symbian.
Secara lengkap fitur N8 dapat dilihat dibawah ini:

* Jaringan: 2G GSM 850 / 900 / 1800 / 1900, 3G HSDPA 900 / 1900 / 2100 (HSDPA 850 / 1900 / 2100 – versi Amerika)
* Model: Candybar Kendali Touchscren
* Screen: TFT touchscreen kapasitif, warna 16M, 4,0 inci, Jarak sensor untuk auto turn-off, Accelerometer sensor untuk auto-memutar UI
* OS: OS Symbian ^ 3
* Kamera: 12 MP, 4000×3000 pixels, Carl Zeiss optics, autofocus, Xenon flash, Geo-tagging, dan deteksi wajah tersenyum, video 720p @ 24fps, kamera VGA untuk panggilan video
* Koneksi: GPRS Class 32, EDGE Class 32, HSDPA, 7.2 Mbps, HSUPA, 5,76 Mbps, Wi-Fi 802.11 b / g, tehnologi UPnP, Bluetooth v3.0 dengan A2DP, microUSB v2.0
* Memory: internal 32 GB penyimpanan, sebuah microSD eksternal, sampai 32GB
* Aplikasi: SMS, MMS, Email, Push Email, IM, Games
* Browser: WAP 2.0/xHTML, HTML, RSS feeds, JAVA MIDP 2,1
* Warna Pilihan: Putih, Hitam, Hijau
* Baterai: Li-Po

Fitur lain:

* Stereo FM radio dengan RDS, FM transmitter
* Digital kompas
* MP3/WMA/WAV/eAAC + player
* MP4/H.264/H.263/WMV pemain
* Suara perintah / dial
* Document viewer (Word, Excel, PowerPoint, PDF)
* Video / photo editor
* Flash Lite 3
* T9

Jika Anda tertarik dengan ponsel ini tak ada salahnya Anda membandingkan juga dengan iPhone dan pesaing lainnya dan jika mungkin carilah di internet untuk mendapatkan harga yang bersaing.

Selengkapnya ..

La Galigo

Diposting oleh 2brother | Sabtu, April 11, 2009 | 2 komentar »

La Galigo adalah epik terpanjang di dunia. Epik ini tercipta sebelum epik Mahabharata. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.

La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.

Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninkelijk Instituut Taal Land en Volkenskundig Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah mukasurat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh pribadi-pribadi.

1. Isi hikayat La Galigo

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang wilaya Luwu Timur dan terletak di Teluk Bone.

Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.

Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga, Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.

Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja.

Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.

Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
2. La Galigo di Sulawesi Tengah

Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu'.

Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).

Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.

Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.

Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.
3. La Galigo di Sulawesi Tenggara

Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.

Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.

Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).
4. La Galigo di Gorontalo

Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.

Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
5. La Galigo di Malaysia dan Riau

Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.

Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.

Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.

Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).

Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

Sumber : http://wapedia.mobi/id/I_La_Galigo

Selengkapnya ..

Cerita Sawerigading : Sebuah Ringkasan

Diposting oleh 2brother | Rabu, April 08, 2009 | 0 komentar »

Cerita Sawerigading yang termuat dalam Sure’ I La Galigo (Periksa Edisi H. Kern, 1939), dimulai ketika para dewa dilangit bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi (dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak menggantikan ayahnya penguasa di Luwu. Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara Lattu’.

Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit. Dari perkawinan keduanya lahirlah sawerigading dan tenriabeng sebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan . Berdasarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus dibesarkan terpisah agar kelak bila mereka menjadi dewasa tidak akan saling jatuh cinta.

Namun demikian suratan menentukan yang lain, sebab dirantau Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai seorang saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya. Sejak itu hatinya resah hinggah pada suatu waktu ia berhasil melihatnya dan langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksud itu mendapat tentangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak, karena kawin bersaudara merupakan pantangan yang jika dilanggar akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh-tumbuhan serta seluruh negeri kebingungan.

Melalui suatu dialog yang panjang, berhasil juga We Tenriabeng membujuk saudaranya untuk berangkat ke negeri Cina memenuhi jodohnya di sana, I We Cudai namanya. Wajah dan perwakannya sama benar dengan We Tenriabeng. Pada waktu Sawerigading berangkat ke Cina, We Tenriabeng sendiri naik kelangit dan kawin dengan tunangannya di sana bernama Remmang ri Langi. Dengan mengatasi hambatan demi hambatan, akhirnya berhasil juga Sawerigading mengawini I We Cudai yang tunangannya, Settiaponga sudah lebih dahulu dikalahkan, dalam suatu pertempuran di tangah laut dalam perjalananmenuju ke Cina. Mereka hidup rukun damai dan memperoleh tiga orang anak yaitu : I La Galigo , I Tenridia dan Tenribalobo. Dari seorang selirnya [ I We Cimpau ], Sawerigading memperoleh seorang anak bernama We Tenriwaru.

Dalam pada itu La Galigo pun menjadi dewasa, merantau, menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika I We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan sumpahnya dahulu, ketika hendak bertolak ke Cina, bahwa seumur hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi ditanah Luwu, tetapi sayang akan isteri, anak dan cucu dibiarkan berlayar sendiri tanpa ditemani, akhirnya iapun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewadewa yang ada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi dengan masing-masing seorang wakil.

Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang ke Cina. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk menggantikan neneknya sebagai raja peretiwi.

Di peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang kemudian kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya dikirim ke Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang pergi, dengan ketentuan sewaktu-waktu kelak akan dikirim utusan untuk memperbarui darah mereka sebagai penguasa.

Beberapa Pandangan tentang Cerita Sawerigading Dipandang dari berbagai sudut, beberapa ahli telah mengemukakan pendapatnya tentang cerita Sawerigading. Fachruddin Ambo Enre, dalam disertasinya berjudul Rintumpanna Welenrennge (1993), mengemukakan tiga jenis pandangan tentang naskah Sure’Galigo, yaitu sebagai naskah mitos dan legenda, sebagai naskah sejarah dan sebagai karya sastra.

Pendapat yang menyatakan sebagai mitos dan legenda cukup beralasan sebab dalam cerita tersebut terdapat ciri-ciri ceerita yang berkaitan dengan mitos penciptaan oleh dewa di langit dengan mengirim anaknya Batara Guru dan We Nyilitomo ke bumi. Batara Gurulah yang menciptakan gunung, sungai, hutan dan danau.

Menyusuli kehadirannya di sana muncullah tanaman seperti : ubi, ke;adi, pisang, tebu dan lainnya. Kekuatan supernatural yang dimiliki para tokohnya, seperti naik ke langi, turun ke peretiwi, atau menyeberang ke maja [ dunia roh ], kemampuannya meredakan angin ribut dan halilintar, kesanggupannya menghidupkan kembali orang mati dalam perang, gambaran tentang berbagai macam upacara, ritus dan aspek budaya lainnya merupakan ciri-ciri cerita mitos yang umum.

Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading sebagai legenda didasarkan pada benda-benda alam yang dihubungkan dengan tokoh Sawerigading, seperti Bulupoloe di dekat malili, dikatakan sebagai bekas tertimpa pohon Welenreng yang rebah karena ditebang untuk dijadikan perahu oleh Sawerigading. Contoh lain, misalnya Batu cadas di daerah Cerekang banyak diambil untuk dijadikan batu asah, disebut sebagai kulit bekas tebasan pohon Welenreng itu. Digunung Kandora, daerah mangkedek, tanah Toraja terdapat batu yang dianggap penjelmaan We Pinrakasi, isteri Sawerigading yang meninggal dalam keadaan hamil yang dijemput oleh Sawerigading di dunia roh.

Setiba kembali di bumi ia melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Jamallomo. Anak tersebut kemudian menjelma menjadi batu. Gunung batu di daerah Bambapuang [ Enrekang ], yang dari jauh nampak sebagai anjungan perahu, dianggap perahu Sawerigading yang karam dan telah menjadi batu. Gong besar yang terdapat di Selayar dianggap gongnya Sawerigading, yang selalu dibawa berlayar dan dibunyikan setiap memasuki pelabuhan. Demikian pula kepingin perahu yang terdapat di Bontote’ne dianggap perahu Sawerigading.

Pandangan yang menyatakan bahwa cerita Sawerigading mempunyai nilai sejarah, yaitu adanya kronik di Bone, Soppeng yang menyatakan bahwa raja pertama mereka adalah Tomanurung yang bersumber dari keturunan Sawerigading. Demikian pula kaum bangsawan di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu, menganggap bahwa La Galigo dan Sawerigading adalah nenek-moyang mereka. Dalam silsilah raja-raj di Sulawesi Selatan [Lontara Pangoriseng], di puncak silsilah itu terdapat tokoh-tokoh La Galigo, Sawerigadin, Batara Lattu’ dan Batara Guru. Menurut Mills, yang menciptakan silsilah itu raja-raja itu sendiri untuk memperoleh legitimasi magis-religius yang menurut dugaan meniru model-model kronik Jawa. Sebenarnya mereka tidak menyebut tokoh Sawerigading sebagai tokoh sejarah , tetapi mereka mengklaim bahwa tokoh-tokoh itu benar-benar ada, walaupun sebagian besar ceritanya adalah fiksi.

Cerita Sawerigading dianggap sebagai karya sastra oleh beberapa tokoh antara lain Raffles, Matthes, R.A. Kern, A. Zainal Abidin Farid, cerita Sawerigading adalah sastra kuno yang dianggap suci oleh Bugis tetapi bukan sejarah. Demikian pula Fachruddin menganggap Sure’ Galigo adalah sastra suci.

Nilai-nilai Budaya dalam Cerita Sawerigading Dalam cerita Sawerigading dapat diungkap beberapa nilai budaya antara lain : nilai religius, sistem kepercayaan pra-Islam yang menggambarkan dunia gaib dan konsep kejadian manusia. Dalam cerita ini digambarkan bahwa dunia gaib adalah dunia dewa-dewa di langit, di bumi [ mulatau ] yang keturunan dewa-dewa. Seiring dengan perkembangan Islam dan agama lain di Luwu, maka nilai religius dari cerita ini lambat laun akan mengalami kepunahan, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.

Beberapa kepentingan cerita itu dalam kajian ilmu-ilmu sosial dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Nilai sejarah dalam cerita Sawerigading dapat dilihat faktanya dengan adanya silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan yang menghubungkan keturunan mereka dari Sawerigading. Namun demikian fakta sejarah ini perlu mengalami telaah kritis dengan memilah-milah antara fakta sejarah dengan cerita mitos yang telah diselipkan dalam penyusunan silsilah tersebut.

b. Nilai mitos dan legenda sangat dominan dalam mewarnai cerita Sawerigading. Terbukti dengan alur cerita, tokoh cerita tempat dan peristiwa cerita, sesuai dengan ciri-ciri yang dikategorikan cerita mitos dan legenda.

c. Walaupun cerita ini kurang bernilai sejarah dan lebih dominan bernilai mitos dan legenda, tetapi cerita ini dapat membantu dalam pengungkapan bukti-bukti yang bernilai arkeologis dalam merekonstruksi sejarah kebudayaan Sulawesi Selatan.

d. Semboyan daerah Luwu sebagai bumi Sawerigading, artinya masyarakat Luwu mengidentifikasikan jati diri mereka dengan seorang tokoh mitologis agar dapat mempunyai implikasi positif. Mungkin dapat di bandingkan dengan menyebut Irak sebagai bumi Abunawas.

Sumber. www. sulsel.go.id

Selengkapnya ..

9 Raja Malaysia keturunan Raja Bugis dari Kerajaan Luwu

Diposting oleh 2brother | Rabu, April 08, 2009 | 3 komentar »

Dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Raja Bugis dari Kerajaaan Luwu, Sulawesi Selatan.

Hal itu terungkap pada Seminar Penelusuran Kerabat Raja Bugis, Sulsel dengan raja-raja Johor-Riau-Selangor, Malaysia di Makassar, Rabu.

"Berdasarkan hasil penelusuran silsilah keturunan dan tinjauan arkeologi diketahui, 14 provinsi di Malaysia, sembilan diantaranya diperintah oleh raja yang bergelar datuk (dato`) atau sultan, sedang empat provinsi lainnya diperintah gubernur yang bukan raja," kata Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka.

Menurut dia, dari segi silsilah, kesembilan raja yang memiliki hak otoritas dalam mengatur pemerintahannya itu, berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau.

Sebagai contoh, lanjutnya, pemangku Kerajaan Selangor saat ini adalah turunan dari Kerjaan Luwu, Sulsel.

Merujuk Lontar versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.

Raja yang ke-26 dan ke-28 adalah Wetenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete, yang kemudian berputrikan Opu Wetenriborong Daeng Rilekke` yang kemudian bersuamikan Opu Daeng Kemboja.

"Dari hasil perkawinannya itu lahir lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cella`, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase," paparnya sembari menambahkan, putra-putra inilah yang kemudian merantau ke Selangor dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja di Malaysia hingga saat ini.

Lebih jauh dijelaskan, dengan penelusuran sejarah dan silsilah keluarga itu, diharapkan dapat lebih mendekatakan hubungan antara kedua rumpun Melayu yakni Melayu Selangor dan Bugis.

Menurut Moh Jusoff, dari segi kedekatan emosional, silsilah dan genesitas komunitas di Malaysia dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, belum bisa merambah ke persoalan politik karena ranah politik Malaysia berbeda dengan politik Indonesia termasuk mengenai tata pemerintahan dan kemasyarakatannya.

Sementara itu, Andi Ima Kesuma,M.Hum, pakar kebudayaan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga Kepala Museum Kota Makassar mengatakan, kekerabatan keturunan raja-raja di Malaysia dan raja-raja Bugis di Sulsel tertuang dalam Sure` Lagaligo maupun dalam literatur klasik lainnya.

"Hanya saja, gelaran yang dipakai di tanah Bugis tidak lagi digunakan di lokasi perantauan (Malaysia) karena sudah berasimilasi dengan situasi dan kondisi di lokasi yang baru," katanya.

Gelar Opu dang Karaeng yang lazim digunakan bagi keturunan raja rai Luwu dan Makassar tidak lagi dipakai di Malaysia melainkan sudah bergelar tengku, sultan atau dato`.

Sumber : www.rileks.com

Selengkapnya ..

To Manurung

Diposting oleh 2brother | Rabu, April 08, 2009 | 0 komentar »


Proses awal keberadaan kerajaan- kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada umumnya selalu diawali dengan mitos-mitos sebagai bentuk pengesahan dan legalitas kerajaan. Memang diakui bahwa sebelum mitos-mitos itu muncul dan menjadi suatu konsep legalitas kerajaan, sebenarnya kerajaan-kerajaan itu telah lama ada dan eksis menurut pemikiran kolektif kelampauan mereka seperti kerajaan Luwu, Bone, Gowa, Soppeng, Wajo, Tanete dan kerajaan lain yang ada di Sulawesi Selatan. Mitos itulah yang memunculkan tokoh Tu Manurung yang mewarisi raja-raja berikutnya. Namun yang paling menajubkan karena kemunculannya selalu bertepatan dengan adanya konflik-konflik internal kerajaan yang bersangkutan, dan tokoh inilah yang dianggap sebagai juru selamat yang membawa keamanan, ketentraman dan kemakmuran kerajaan dan terbukti memang demikian.
Konstelasi politik kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan pada masa lampau selalu punya kecenderungan untuk menyelesaikan masalah lewat pihak ketiga dengan apa yang disebut Tu Manurung seperti yang terjadi di Gowa, Bone, Wajo, Luwu, Soppeng dan lain-lain. Namun ada juga variasi tertentu walaupun kemunculannya juga diawali adanya konflik internal dalam kerajaan bersangkutan seperti yang terjadi di Tanete. Sehingga permasalahan yang belum terjawab secara tuntas sampai sekarang adalah “kenapa To Manurung selalu muncul pada saat kerajaan itu dalam keadaan konflik, dan apakah itu merupakan konspirasi politik?” Paper ini bukan menjawab pertanyaan itu tetapi mendiskusikan pertanyaan tersebut dengan menampilkan kasus Tu Manurung di Bone dengan kasus To Sangiang di Tanete.

Tu Manurung di Bone diawali dengan mitologi yang tidak berangka tahun, walaupun diperkirakan bahwa To Manurung proses rawal munculnya terjadi sekitar abad XIII dan abad XIV. Demikian juga di Bone tidak ada angka tahun yang pasti kecuali dikisahkan bahwa Tu Manurung muncul pada saat kerajaan kosong dalam jabatan raja karena tujuh unit kerajaan yang ada di Bone selalu sulit menentukan pilihan siapa yang paling layak memegang tahta kerajaan. Kondisi itu berlarut-larut sampai datangnya Tu Manurung. Dimana dikisahkan bahwa kedatangan Tu Manurung diawali dengan hujan ribut, guntur menggelegar yang tiada henti-hentinya selama sepekan disertai angin kencang sehingga terjadi gempa. Dan setelah berhenti gempa, nampaklah salah seorang yang berpakaian putih-putih di suatu tanah lapang di Bone dan tidak ada yang mengetahui identitasnya sehingga di beri nama Tu Manurung (orang yang turun dari kayangan). Pada saat orang-orang Bone memintanya Tu Manurung untuk menjadi raja di Bone, tiba-tiba orang itu berkata bahwa permintaanmu itu baik sekali dan mulia tetapi kalian salah karena saya juga hanyalah hamba, namun jika rajaku yang kalian maksud dan minta, maka baiklah kiranya saya antar kesana.
Dalam perjalanan menuju tempat yang dimaksud pada waktu itu juga datang angin kencang, kilat, petir dan guntur bersambut- sambutan. Setelah sampai di Matajang, tempat yang dimaksud maka terlihatlah oleh orang banyak rombongan pembesar dari Bone seorang laki-laki duduk berpakaian kuning di sebuah batu “Napara” beserta tiga orang pengikutnya yang duduk di dekatnya. Ketiga orang itu masing-masing punya pegangan, satu memegang payung memayungi orang yang perpakaian kuning itu, satu memegang kipas dan yang satu memegang “salenrang” (puan atau tempat sirih). Pada saat itulah terjadi tawar menawar kepentingan demi kerajaan Bone, dan terwujudlah kontrak perjanjian antara Tu Manurung sebagai raja dengan rakyat Bone. Inilah awal integrasi kerajaan Bone dari tujuh unik kerajaan yang ada, dan keturunan Tu Manurung tersebut mewarisi tahta kerajaan berikutnya.
Hal yang menarik pula untuk dibandingkan dengan Tu Manurung adalah To Sangiang pada masa awal kerajaan Tanete. Perbandingan yang dimaksud disini adalah masalah konflik internal kerajaan tanete dengan munculnya To Sangiang, sebab kalau yang diperbandingkan mengenai periodesasi proses awal keberadaan To Manurung di kebanyakan kerajaan di Sulawesi selatan dengan periodesasi proses awal kemunculan To Sangiang di kerajaan Tanete merupakan periode yang berbeda. To Manurung banyak di beritakan muncul sekitar abad XIII dan abad XIV, sementara To Sangiang di Tanete muncul sekitar abad XV atau abad XVI. Namun masa awal kerajaan Tanete juga mengisyaratkan cerita mitologis tetapi sangat berbeda dengan kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi selatan. Kalau kerajaan lain pada umumnya melahirkan tokoh Tu Manurung dari dunia atas maka di Tanete melahirkan tokoh dengan sebutan To Sangiang dari dunia bawah yang ditandai dengan adanya ciri-ciri berupa air dalam Balubu yang selalu penuh dengan air dan ikan yang banyak yang sewaktu-waktu dibawahkan oleh burung-burung yang mengabdi padanya di atas Gunung Pangi.
Keluarga To Sangiang inilah yang nantinya membuka lahan pertanian yang cukup subur yang mendatangkan kemakmuran dan tempat itu tidak begitu jauh dari laut dengan sebutan Arung Nionjo, kemudian menjadi Agang Nionjo dan selanjutnya diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo sebagai cikal bakal kerajaan Tanete nantinya pada masa pemerintahan Raja VII Tu Maburu Limanna. Pada masa terbentuknya kerajaan Agangnionjo sampai pada masa pemerintahan Tu Maburu Limanna yang kami anggap sebagai masa awal kerajaan Tanete karena pada masa itu nama kerajaan Agangnionjo berubah menjadi kerajaan Tanete.
Dalam tradisi lisan masyrakat Tanete yang kita kenal sekarang dimana pada masa lampau di daerah tersebut diceritakan adanya beberapa kerajaan yang sudah eksis dengan sebutan ke-Arungan atau wilayah kekuasaan seseorang penguasa yang di sebut Arung. Adapun Arung yang sangat terkenal pada masa itu ialah Arung Pangi dan Arung Alekale. Dimana dikisahkan Arung Pangi bersama pengiringnya melakukan perburuan di kawasan pegunungan Pangi. Pada saat mereka mencapai puncak gunung di daerah jangang-jangangnge dijumpai sebuah tempayan (balubu) yang berisi air, suatu pertanda bahwa ada penghuni di tempat itu. Dugaan itu ternyata benar. Mereka menemukan sepasang suami- istri sedang duduk dan di sekitarnya beterbangan burung-burung Bangau yang datang menghampiri mereka dengan membawa ikan. Ikan-ikan mentah yang dibawa burung-burung itu diberikan kepada pasangan suami-istri itu sebagai makanan mereka.
Kenyataan itu merangsang rasa ingin tahu Arung Pangi dan pengiringnya sehingga datang menghampiri pasangan suami-istri itu dan bertanya tentang asal-usulnya. Jawaban yang diperoleh bahkan menimbulkan pemikiran mitis, karena mereka hanya menyatakan bahwa mereka tinggal di puncak gunung ini atas kehendak sang Dewata, dan asal mula datangnya mereka itu sama seperti orang yang lain dari arah penjuru mata angin, barat, timur, selatan, atau utara. Arung Pangi selanjutnya menyuruh pengiringnya menyiapkan perbekalan yang dibawa untuk makan bersama termasuk mengajak pasangan suami-istri tersebut. Ajakan itu dijawab dengan ramah tama “silakan makan dan silakan gunakan air dalam tempayan itu. Kami tidak makan nasi tetapi hanya memakan ikan mentah yang dibawakan burung-burung itu”.
Jawaban itu menimbulkan pertanyaan siapa gerangan sesungguhnya pasangan suami-istri ini. Apakah mereka orang yang diturunkan dari dunia atas (boting langi) yang sering disebut Tumanurung karena berada di puncak gunung ataukah orang yang dimunculkan dari dunia bawah (paratiwi) melalui laut yang biasa disebut Tautompo karena hanya memakan ikan mentah. Persoalan itu yang mendorong Arung pangi dan pengiringnya menyebut pasangan suami istri itu To Sangiang. Setelah bersantap, Arung Pangi memohon pada To Sangiang itu untuk turun ke Gunung dan menetap di Pangi tetapi ajakan itu dijawab dengan mengatakan bahwa kami akan turun kelak jika Dewata mengizinkan. Lalu Arung Pangi pun minta pamit seraya berharap bahwa suatu saat nanti kita dipertemukan kembali.
Setelah Arung Pangi sampai di kerajaannya mereka pun memberitahukan kepada Arung Alekale, sehingga bersepakatlah Arung Pangi dan Arung Alekale untuk menemui Tosangiang dan mereka bertemu. Kemudian Arung Pangi menyampaikan kepada To Sangiang bahwa ia datang bersama kerabatnya Arung Alekale, yang juga berkeinginan untuk menjalin persahabatan. Arung Alekale menyambung pembicaraan itu dengan menawarkan kepada To Sangiang kiranya berkenan dapat tinggal di negerinya, dan menjalin hubungan kekeluargaan. Dengan demikian kita mendapatkan berkat dan rahmat Dewata. Namun To Sangiang merespon tawaran itu dengan jawaban seperti yang perna diutarakan kepada Arung Pangi sebelumnya. akhirnya mereka pulang kembali ke negeri tanpa disertai Tosangiang.
Hasrat Arung Pangi untuk mengajak turun To Sangiang akan segera terkabul sebab To Sangiang juga memiliki hasrat yang sama agar supaya anak perempuannya dapat dipersunting oleh putra Arung Pangi. Ketika hasrat To Sangiang disampaikan kepada Arung Pangi kala kunjungan pertemuan ketiganya, ditanggapi dan disambut dengan senang hati oleh Arung Pangi walaupun Arung Pangi tidak punya putra dengan menyatakan bahwa sangat gembira menerimanya, dan bermohon perkenaan untuk kembali dan kelak kembali untuk menjemput puterinya.
Arung Pangi dan pengiringnya kembali ke Pangi dan langsung mengirim utusan menyampaikan kepada Arung Alekale dan seluruh kerabat untuk berkumpul dan membicarakan tawaran To Sangiang. Hasil pertemuan keluarga itu adalah melamar dan menikahkan puteri To Sangiang itu dengan putera Arung Alekale. Berdasarkan kesepakatan itu berangkatlah rombongan ke tempat kediaman To Sangiang untuk melamar dan menikahkan putera Arung Alekale dengan puteri To Sangiang. Kehadiran rombongan Arung Alekale dan Arung Pangi itu disambut gembira sehingga rencana peminangan dan pernikahan juga langsung diselenggarakan. Arung Alekale memberi gelar Arung Riale-alena setelah menantunya tiba ke negerinya.
Keluarga To Sangiang setelah beberapa waktu pasca pernikahan anak putrinya, dengan anak putera Arung Alekake, mereka pun berhijrah untuk turun gunung dengan membawa istrinya dan anak putranya sebanyak tiga orang. Merekapun berkelana dari satu tempat ketempat lain untuk mencari daerah pemukiman yang baru dan bisa mendatangkan kemakmuran diantara mereka. Setelah lama memcari dan memilih daerah yang cocok akhirnya mereka memilih dan menetap pada suatu daerah yang disebutnya Rittampawali, kemudian ditempat itu mereka membuka lahan pertaniah sawah dengan sebutan La Ponrang. Keluarga ini semakin lama semakin senang dan makmur membuka lahan pertanian. Tetapi keharmonisan itu mulai terusik ketika anaknya yang sulung berselisi paham dan bertengkar dengan adiknya berkaitan dengan lahan yang mereka kerjakan dan alat yang mereka gunakan seperti bajak (rakkala) dan garu (salaga). Untuk mencegah pertikaian itu berlarut dan menimbulkan dampak negatif yang lebih keras, To Sangiang memerintahkan puteranya yang sulung pindah ke selatan dan mengolah lahan pertanian disekitar Gunung Sangaji dan adiknya pindah ke bagian utara di daerah Soga. Sementara puteranya yang bungsu tetap tinggal bersama orang tuanya.
Solusi yang ditempuh To Sangiang untuk memisahkan anaknya didalam penggarapan lahan dan peralatan ternyata tidak menjamin terciptanya ketemtraman dan kedamaian diantara mereka, terbukti ketika sang kakak datang merusak lahan pertanian dan peralatan yang dipakai adiknya. Tindakan itu menimbulkan amarah sang adik maka terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan. Kondisi perselisihan itu bukan hanya mengecewakannya tetapi juga mendorong sang ayah memandang bahwa tempat ini sesungguhnya bukan tempat yang pantas bagi keluarganya sehingga berniat untuk meninggalkannya dan mencari tempat yang baru.
Akhirnya disepekati untuk pindah ke tempat yang baru, dekat dengan daerah pesisiran. Tempat itu dinamai La Poncing. To Sangiang membuka areal persawahan yang dinamai La Mangngade, sementara puteranya yang sulung membuka lahan pertanian sawah di bagian selatan sawah ayahnya (selatan La Mangngade), putera keduanya membuka sawah di daerah Ujungnge, dan putera bungsunya membuka lahan pertanian sawah di Samaran. Kemudian keseluruhan lahan itu diberinya nama Arung Nionjo, yang kemudian berubah dan diabadikan menjadi kerajaan Agangnionjo. Kehidupan mereka tentram dan memperoleh hasil usaha yang berlimpah karena seluruh lahan kosong berhasil dikelola menjadi lahan poertanian. Mereka bersyukur bahwa di tempat pemukiman yang baru ini mereka boleh mendapatkan rezeki yang halal dari sang Dewata.
Kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kehormonisan itu ternyata tidak dapat dipertahankan terus. Berselang beberapa tahun kemudian terjadi lagi pertengkaran dan perselisihan antara puteranya yang sulung dengan adiknya. Pertengkaran dan perselisihan itu semakin hari semakin meningkat intensitasnya dan mengarah pada tindakan kekerasan untuk saling membunuh. Solusi yang dilakukan oleh To Sangian seperti tempo yang lalu agaknya masih kurang memuaskan sehingga To Sangiang mencari solusi yang lain.
Namun uniknya solusi yang dilakukan ini juga sangat berbeda pada kenyataan proses penyelesaian konflik atau khaos internal untuk mencapai kedamaian, ketemtraman dan kemakmuran bersama di Sulawesi Selatan, yaitu munculnya konsep Tu Manurung sebagai juru selamat yang kebanyakan terjadi pada kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Dimana To Sangian hanya mencari bantuan kepada raja Sigeri (Karaeng Sigeri). Yang ketika itu menjabat sebagai Karaeng Sigeri adalah seorang keponakan dari Raja Gowa X, I Manriwa Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1546-1565). Ketika To Sangiang meminta bantuan tersebut Karaeng Sigeri menerima baik tawaran itu dan menyatakan bersedia membantu menyelesaikan perselisihan yang terjadi di Angangnionjo akan tetapi tidak seketika itu juga memenuhi permintaan itu oleh karena ketika itu rakyatnya telah memulai mengolah lahan pertanian.
Apa yang dilakukan oleh Karaeng Sigeri untuk tidak lansung ke Agangnionjo untuk menyelesaikan perselisihan itu karena dalam tradisi masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Sigeri dan Tanete pada khususnya bahwa keberhasilan suatu usaha pertanian maupun perikanan ditentukan oleh perilaku politik pemimpin dan aparat pemerintahannya. Jika penguasa dan aparat pemerintahannya berperilaku yang baik dan mengayomi rakyatnya maka pasti hasil pertanian dan perikanan akan melimpah, dan jika sebaliknya maka kegagalan yang akan dicapai. Disini juga mengisyaratkan bahwa kepatuhan dan loyalitas rakyat sangat ditentukan baik tidaknya perilaku raja. Itulah sebabnya dalam masyarakat ini terdapat ungkapan kepada penguasa yang menyatakan “ jika panen gagal dan ikan menghilang dari perairan maka sayangilah dirimu sendiri “, yang maksudnya adalah jika usaha pencarian nafkah rakyat tidak berhasil berarti penguasa dan aparatnya telah melakukan perbuatan tercelah sehingga rakyat pasti akan meninggalkan mereka. Maka dengan demikian raja diharapakan supaya menyelamatkan, menjaga dan menyayangi dirinya sendiri agar ketemtraman dan kemakmuran bersama selalu hadir dan melekat pada semua rakyat atas izin Dewata.
Setelah selesai panen di Sigeri sebagaimana janji Karaeng Sigeri untuk datang di Agangnionjo dalam menyelesaikan perselisihan yang mengara keperkelahihan saling membunuh. Akhirnya Karaeng Sigeri memenuhi janjinya dan berkunjung ke Agangnionjo. Dalam menangani perselisihan itu Karaeng Sigeri mengambil langkah-langkah yang bersifat persuasif. Langkah dan strategi penyelesaian persoalan persengketaan dan perselisihan itu memberi hasil yang mengembirakan karena berbagai pihak yang bersengketa merasa puas dan menerima tawaran perdamaian. Sebagai tanda ucapan terima kasih dan keinginan untuk mendekatkan kerajaan Sigeri dengan Agangnionjo, merekapun bersepakat untuk saling melengkapi dan bekerja sama dan atas saran Karaeng Sigeri supaya Agangnionjo juga menjalin hubungan baik kepada kerajaan Makassar (Gowa-Tello) Karena ia sendiri adalah keluarga penguasa Kerajaan Gowa. Setelah menyelesaikan perselisihan itu Karaeng Sigeri beserta pengiringnya memohon diri kembali ke negerinya.
Atas keberhasilan Karaeng Sigeri menyelesaikan perselisihan di Agangnionjo itu tidak hanya memberikan kepuasan dan kegembiraan To Sangiang dan kerabatnya tetapi juga kagum atas kepemimpinannya. Oleh karena itu, To Sangiang bersama warga Agangnionjo pada umumnya bersepakat untuk memohon kepada Karaeng Sigeri agar bersedia menetap di Agangnionjo dan sekaligus menjadi Raja Agangnionjo. Kemudian rencana itu dilakukan dengan mengutus To Sangiang sendiri bersama istrinya menemui dan menyampaikan keinginannya bersama semua warga Agangnionjo itu.
Apa yang menjadi keinginan To Sangiang itu ternyata Karaeng Sigeri bersedia menerima amanah itu. Karaeng Sigeri dan pembesar-pembesar kerajaan termasuk permaisuri mempersiapkan diri dan berangkat bersama dengan diiringi pula dengan sejumlah matowanya ke Agangnionjo dan menetap dikediaman Ta Sangiang di BatuleppanaE (La Ponceng). Pelantikanpun segera dilaksanakan yang disaksikan oleh semua warga masyarakat Agangnionjo termasuk mengundang Arung Pangi dan Arung Alekale. Dalam rangkaian pelantikan itu pula To Sangiang menyampaikan permohonan atas nama Masyarakat Agangnionjo bahwa: “kami semua keluarga dan kerabat memohon diberkati, dikasihani, dan tidak putus-putusnya dilindungi oleh paduka raja tuanku, seperti haknya dengan orang-orang Sigeri“. To Sangiang melantik Arung Sigeri menjadi raja Agangnionjo yang pertama dengan diberi gelar Datu GollaE (1552-1564).
Setelah pelantikan itu, dibangunkanlah istana untuk Datu GollaE pada areal perbukitan di daerah La Ponceng. Sebagai tanda kehormatan dan kesetiaan pada raja, para ketua kaum, Arung Pangi dan Arung Alekale, dan keluarga To Sangiang datang menghantarkan persembahan (kasuwiyang). Persembahan atau kasuwiyang itu yang umumnya merupakan hasil produksi rakyat itu tidak hanya memiliki nilai ekonomis bagi penguasa tetapi juga terkandung nilai relegius yang menempatkan sang penguasa sebagai pemengang kendali politik yang dianugerahkan Dewata untuk memimpin rakyatnya hidup dengan tentram dan sejahtera. Dalam masyarakat tradisional seorang raja (penguasa) dipandang pula memiliki dan menguasai kekuatan-kekuatan supernatural yang mampu dimanfaatkan untuk menciptakan tertib alam sehinggan memungkinkan keberhasilan usaha rakyatnya baik dalam bidang pertanian maupun bidan perikanan.
Karaeng Sigeri dalam melaksanakan roda pemerintahannya di Agangnionjo, dia membentuk perwakilan pemerintahan dengan sebutan Pangara-Wampang Puang Lolo Ujung yang diberikan kepada anak tertua To Sangian. Agangnionjo pada masa itu mengalami perkembangan dan kemajuan serta kemakmuran yang sangat pesat. Setelah puluhan tahun lama Dutu Gollae memerintah, diapun menemui ajalnya dan digantikan oleh Pangara-Wampang Puang lolo Ujung. Tetapi baru saja satu tahun dia memerintah dan mengendalikan kerajaan Agangnionjo, dia mendapat cobaan yang sangat besar karena tanaman pada mati dan ikanpun berkurang sehingga rakyat menderita kelaparan yang hebat. Pangara-Wampang ini sangat menyesal menjadi raja karena dia merasa bukan keturunan raja sampai dia pergi mengasingkan diri dan mengundurkan diri. Akhirnya dia digantikan oleh MantinroE ri Ribokokajurugna yang masih keturunan Datu GollaE.
Tanaman dan perikananpun hasilnya kembali meningkat sehingga masyarakat Agangnionjo kembali menjadi makmur pula. Raja ini memerintah agak lama sampai dia menemui ajalnya dan digantikan oleh Raja Daeng Ngasseng yang mengikuti jejak MantiroE ri Bokokajurugna. Pada masa ini dibentuk jabatan pabbicara yang dijabat oleh La pammuda keturunan To Sangiang. Pada Masa ini pula terjadi Perang Agangnionjo, yaitu perang antara kerajaan Agangnionjo dengan Addatuang (Raja) Sawitto yang mula-mula ingin datang menentang kerajaan Gowa atas berbagai kebijakannya yang dianggap tidak banyak menguntungkan kerajaan Sawitto tetapi pasukan mereka dinasehati oleh raja Agangnionjo supaya jangan melanjutkan tujuannya ke Gowa untuk berperang. Nasehat itu tidak diperdulikan dan bersikuku untuk tetap ke Gowa sehingga perangpun tidak bisa dikendalikan dan berlansung beberapa hari. Atas kemenangan Perang itu, Agangnionjo diberi peridikat kerajaan sekutu saudara dan diberi berbagai kemudahan dan kebebasan perdagangan termasuk bea-bea perdagangan.
Pada masa pemerintahan Daeng Ngasseng, orang-orang Malaka, Melayu dan Minagkabau berdatangan mencari tempat tinggal dan menetap dalam daerah kerajaan Agangnionjo. Ketika dia memerintah beberapa tahun dengan kemajuan yang sangat pesat diapun menemui ajalnya dengan tenang dan digantikan oleh To ri Jallo ri Addenenna (tidak diketahui nama aslinya). Tidak lama kemudian diapun menemui ajalnya dan digantikan oleh Daeng Sinjai (tidak diketahui nama lengkapnya). Dia raja yang sangat terkenal karena kejujuran dan kepintarannya, suka bermusyawarah dengan pembesar-pembesar kerajaan termasuk punya hobi berburu. Masa pemerintahan Daeng Sinjai ini penduduk Agangnionjo semakin meningkat seiring dengan peningkatan dan kemajuan kemakmuran. Setelah beliau wafat, dia digantikan oleh To Maburu Limanna. Tumaburu Limananna (1597-1603) menduduki takta kerajaan mengantikan Daeng Sanjai.
Meskipun ia adalah raja yang mewariskan kekayaan dan kemakmuran yang dihasilkan berkat kerja dan karier pendahulunya, namun tetap terus bergiat memajukan ketentraman dan kesejahtraan rakyat. Oleh karena itu, sebagai pelanjut pemerintahan, ia sangat memperhatikan aktivitas penduduknya baik dalam kegiatan pertanian, perikanan dan peternakan, maupun dalam dunia perdagangan maritim. Kegiatan perdagangan maritim kerajaan ini berkembang pesat dan bahkan tampil menjadi penyanggah utama dalam mensuplai kebutuhan pangan, seperti beras dan ternak potong bagi penduduk dan perdagangan Makassar. Kemajuan yang dicapai itu bukan karena mendapat hak istimewa, dalam bentuk bebas pajak pelabuhan dan pajak perdagangan dari pemerintah Makassar, tetapi juga terutama didukung oleh produksi negerinya. Selain itu juga tidak ada pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi yang berkembang, sejak Karaeng Tunipalangga Ulaweng melancarkan ekspedisi penaklukan dan mengangkat orang dan barang dari kerajaan-kerajaan yang terlibat dalam dunia perdagangan maritim ke Makassar. Jauh sebelumnya dapat dicatat antara lain pelabuhan Siang, Bacokiki, Suppa, dan Nepo.
Keterlibatan dalam dunia perdagangan maritim itu berhasil memikat banyak pedangan berkunjung ke bandar niaganya, termasuk pedangan Portugis. Di daerah ini pedangan Portugis dikenal dengan sebutan Parengki. Kelompok pedagan ini juga mendapat izin dari raja mendirikan lojinya dipemukimannya yang dikenal dengan sebutan Laparengki, yang terletak sebelah selatan hulu Sungai Lajari. Kehadiran pedangan Portugis itu tentu bukan berkaitan dengan perdangangan rempah-rempah, tetapi terutama pada produksi pangan dari kerajaan ini, seperti beras dan ternak potong. Selain itu juga pada periodenya datang satu perahu dagang dari Johor yang membawa puteri raja Johor, yang melarikan diri karena terjadi perebutan kekuasaan di negerinya. Rombongan puteri Johor itu diterima dengan senang hati dan diberikan tempat pemukiman yang disebut Pancana.
Meskipun kerajaan ini berhasil membangun dan mengembangkan bandar niaga dan terlibat dalam perdagangan maritim, namun demikian tetap menjalin hubungan komersialnya dan hubungan persekutuannya dengan kerajaan Makassar. Oleh karena itu setiap tahun raja Agangnionjo melakukan kunjungan kerajaan ke Sombaopu. Pada suatu kunjungannya ke Sombaopu, datang pula Opu Tanete (Selayar) menghadap raja Makassar yang menyampaikan bahwa ia datang membawa duni (peti mayat) yang berisi jenazah putera raja Luwu yang bernama LasoE, yang mati terdarmpar akibat perahu daganganya tenggelam di perairan Selayar. Sehungan dengan itu raja Makassar memohon kepada Tomaburu Limananna, kiranya bersedia menemani Opu Tanete bersama pengiring jenazahnya untuk mengantar jenazah itu. Peti jenazah itu dijaga bersama oleh pengiring mereka masing-masing, sambil mempersiapkan tenaga untuk mengusung peti jenazah itu ke tempat tujuan.
Dalam merancang pengusungan jenazah itu dicapai kesepakatan untuk menetapkan bahwa iring-iringan itu adalah iring-iringan Kerajaan Tanete, meskipun dikawal oleh raja Anangnionjo dan Opu Tanete (Selayar). Tampaknya dua pengiring dengan satu nama itu menumbuhkan rasa persaudaraan diantara mereka dan memang atas saran raja Gowa supaya mereka dipersaudarakan. Oleh karena itu sekembali dari Luwu, dua raja itu berikrar membentuk persekutuan dan persaudaraan yang isi pokoknya adalah: “ jika rakyat Agangnionjo bepergian ke Tanete (Selayar) maka dia menjadi orang Tanete, demikian pula sebaliknya. Juga bila armada raja Agangnionjo berada di perairan Tanete (Selayar), meskipun dalam keadaan tergesah-gesah, wajib singgah walaupun hanya sejenak, demikian pula sebaliknya dan sejak itulah nama Kerajaan Agangnionjo di ubah menjadi Kerajaan Tanete.
Dalam perkembangan kemudian nama ini dipandang lebih cocok digunakan untuk menyebut nama Agangnionjo karena ketika itu wilayah Kerajaan Agangnionjo juga sudah tidak hanya mencakup wilayah awal kerajaan itu. Wilayah kerajaan pada periode To Maburu Limananna telah meliputi: Alekale, Punranga, Tinco, Ajangbulu, Dengedenge, Gattareng, Barang, Salompuru, Wanuwa Waru, Pange, Pangi, Beruru, Lemo, Belleyanging, Reya, Mameke, Ampiri, Balenrang, Salomoni, Boli dan Cenekko. Sementara beberapa daerah yang digabungkan kepada Tanete adalah: Lipukasi, Lalolang, Paopao, Palluda, Laponccing, dan Lembang. Sementara daerah yang bernaung pada Pancana adalah Baramase.
Raja ini tergolong raja yang sangat murah hati dan mengasihi rakyatnya. Dia dikenal senang dan suka menolong orang yang mengalami kesusahan, baik itu rakyatnya maupun abdi dalamnya. Itulah pula sebabnya ia membebaskan para tahanan raja Torijallo ri Adenenna dan diberikan tempat pemukiman bagi mereka. Tempat pemukinan itu diberi nama Lipukasi. Sikap murah hati itu menyebabkan raja ini sangat disenangi dan dicintai oleh rakyatnya.

sumber kutipan :
1. Basrah Gising, Basra, 2002, Sejarah Kerajaan Tanete, Makassar: sama Jaya Makassar
2. Makarausu Amansyah, Pengaruh Islam Dalam Adat Istiadat Bugis Makassar, Dalam Bingkisan (thn II, no. 5)
3. Patunru, Abdurrazak Daeng, 2004, Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan, Makassar, Pusat Kajian Indonesia Timur bekerja sama dengan lembaga penerbitan Unhas
4. Syarief Longi (editor), 2001, Kerajaan Agangnionjo (Tanete), Proyek Pengadaan Sarana Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Barru tahun Anggaran 2001
5. Edward L. poelinggomang, tahun anggaran 2005, Sejarah Tanete Dari Agangnionjo Hinnga kabupaten Barru, Pemerintah Kabupaten Barru
6. Sartono Kartodirdjo, 1988, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, jilid I, Gramedia, Jakarta
7. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI): Jakarta, Arsip Makassar
8. Bahan Kuliah, Sejarah Lokal oleh Pak Suriadi Mappangara, M.Hum.
9. Heddy Shri Ahimsa Putra, 1988, Minawang: Hubungan Patron-Klien Di Sulawesi Selatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
10. G.K. Nieman, 1883, Geschiedenis Van Tanete, S-Gravenhage, Martinus Nijhoff,
11.http://azhartoputiri.blogspot.com

Selengkapnya ..

ISTANA KERAJAAN LUWU

Diposting oleh 2brother | Rabu, April 08, 2009 | 0 komentar »


Istana Luwu berlokasi di tengah Kota Palopo, Pusat Kerajaan Luwu (sekarang salah satu kota kelas menengah di Provinsi Sulawesi Selatan). Dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an di atas tanah bekas "Saoraja" (Istana sebelumnya terbuat dari kayu, konon bertiang 88 buah) yang diratakan dengan tanah oleh Pemerintah Belanda.

Bangunan permanen ini dibangun dengan arsitektur Eropa, oleh Pemerintah Kolonial Belanda dimaksudkan untuk mengambil hati Penguasa Kerajaan Luwu tetapi oleh kebanyakan bangsawan Luwu dianggap sebagai cara untuk menghilangkan jejak sejarah Kerajaan Luwu sebagai Kerajaan yang dihormati dan disegani kerajaan-kerajaan lain di jazirah Sulawesi secara khusus dan Nusantara secara umum.
Istana Luwu menjadi pusat pengendalian wilayah Kerajaan Luwu yang luas oleh Penguasa Kerajaan yang bergelar Datu dan atau Pajung (Di Kerajaan Luwu terdapat 2 strata Penguasa, yaitu Datu kemudian di tingkat lebih tinggi Pajung).

Selengkapnya ..

HIKAYAT LA GALIGO

Diposting oleh 2brother | Rabu, April 08, 2009 | 0 komentar »


La Galigo adalah epik terpanjang di dunia. Epik ini tercipta sebelum epik Mahabharata. Isinya sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam bahasa Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks sejarah karena isinya penuh dengan mitos dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan gambaran kepada sejarahwan mengenai kebudayaan Bugis sebelum abad ke-14.
Sebagian manuskrip La Galigo dapat ditemui di perpustakaan-perpustakaan di Eropa, terutama di Perpustakaan Koninkelijk Instituut Taal Land en Volkenskundig Leiden di Belanda. Terdapat juga 600 muka surat tentang epik ini di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, dan jumlah mukasurat yang tersimpan di Eropa dan di yayasan ini adalah 6000 tidak termasuk simpanan oleh pribadi-pribadi.

Epik ini dimulai dengan penciptaan dunia. Ketika dunia ini kosong (merujuk kepada Sulawesi Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge' langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge' langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu’, sekarang wilaya Luwu’ Timur dan terletak di Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware') dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu’ dan bersumpah tidak akan kembali lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia menikah dengan putri Tiongkok, yaitu We Cudai.
Sawerigading digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang dikunjunginya antara lain adalah Taranate (Ternate di Maluku), Gima (diduga Bima atau Sumbawa), Jawa Rilau' dan Jawa Ritengnga (kemungkinan Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja (kemungkinan Sunda Timur dan Sunda Barat) dan Melaka. Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading adalah ayah I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo, juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah menjadi raja. Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta' adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu’.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang Bugis bermukim di pesisir pantai Sulawesi. Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana terdapat Rumah Dewan (Baruga) yang berfungsi sebagai tempat bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan Bugis ketika itu. Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga. Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem barter, diikuti golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading digambarkan sebagai model mereka.
Nama Sawerigading I La Galigo cukup terkenal di Sulawesi Tengah. Hal ini membuktikan bahwa kawsan ini mungkin pernah diperintah oleh kerajaan purba Bugis yaitu Luwu’. Sawerigading dan anaknya I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri, pernah merantau mengunjungi lembah Palu yang terletak di pantai barat Sulawesi. Buri, yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan Loli di Teluk Palu menjadi sebuah danau iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan Donggala pula, terdapat suatu kisah mengenai Sawerigading. Bunga Manila, seorang ratu Makubakulu mengajak Sawerigading bertarung ayam. Akan tetapi, ayam Sawerigading kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan. Bunga Manila kemudian meminta pertolongan kakaknya yang berada di Luwu’. Sesampainya tentara Luwu’, kakak Bunga Manila mengumumkan bahwa Bunga Manila dan Sawerigading adalah bersaudara dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga, Bunga Manila masih menaruh dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di Donggala ialah tentang I La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang Tawali. Di Biromaru, ia mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam I La Galigo kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari ayahnya, Sawerigading. Sesampainya Sawerigading, ia mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan I La Galigo, karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga. Di Sakidi Selatan pula, watak Sawerigading dan I La Galigo adalah seorang pencetus tamadun dan inovasi.

La Galigo di Sulawesi Tenggara
Ratu Wolio pertama di Buntung di gelar Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu Wolio adalah bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading sering ke Wolio melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar Halmahera dan berlabuh di Teluk Malaoge di Lasalimu.
Di Pulau Muna yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah adalah keturunan Sawerigading atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya, 'Yang tinggal di surga'. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di Sulawesi Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di Tompoktikka, seperti yang tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah Wolio(La Galigo: Setia Bonga).Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu’ dari negeri Bugis melawat kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri Padengo.
Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar Teluk Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan berkeris sementara Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan kelewang. Setelah itu, Sarigade berangkat ke Tiongkok untuk mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya. Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari kerajaan Bugis Luwu’. Rawe kemudiannya menggelar Matoladula dengan gelar Lasandenpapang.
Kisah Sawerigading cukup terkenal di kalangan keturunan Bugis dan Makasar di Malaysia. Kisah ini dibawa sendiri oleh orang-orang Bugis yang bermigrasi ke Malaysia. Terdapat juga unusur Melayu dan Arab diserap sama.
Pada abad ke-15, Melaka di bawah pemerintahan Sultan Mansur Syah diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari Makassar. Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa, putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan beliau berniat untuk menyerang Melaka, Banda dan Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15. Pada tahun 1667, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak orang Bugis dan Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan orang Bugis tiba di Selangor di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang Bugis menetap di Kedah. Manakala sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap di Johor. Sekitar 1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke Johor. La Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan penting dimana mereka bermukim di Kuala Selangor dan Klang keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor. Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam sejarah di kawasan ini. Daeng Merewah menjadi Yang Dipertuan Riau, Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri Johor, Kedah dan Selangor dan juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga), Opu Daeng Menambun (menjadi Sultan Mempawah dan Matan), Opu Daeng Cella' (menikah dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada abad ke-19, sebuah teks Melayu yaitu Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam Tuhfat al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari Puteri Balkis, Permaisuri Sheba dan tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi, sempena nama purba bagi pulau Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu’. Kisah ini tidak terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge' kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.

Selengkapnya ..

Pengen domain gratis, lansung cek n langsung dapet domain gratisnya..